Mengatasi Rendahnya Minat Baca di Indonesia
Setiap tanggal 17 Mei kita peringati
sebagai Hari Buku Nasional. Memang, pamor momentum tersebut kalah jika
dibandingkan dengan momentum lainnya, seperti Hari Pendidikan Nasional (2 Mei)
atau Hari Kebangkitan Nasional (21 Mei). Itu disebabkan banyak faktor, salah
satunya ialah karena buku dan aktivitas yang terkait dengannya, seperti membaca
dan menulis, tidak begitu populer di kalangan masyarakat Indonesia.
Semasa penulis duduk di bangku
sekolah, ada satu ungkapan menarik yang sering diungkapkan oleh guru-guru.
Yaitu, ungkapan “membaca adalah kunci ilmu, sedangkan gudangnya ilmu adalah
buku.” Sepintas ungkapan itu sederhana, namun di dalamnya terkandung makna
penting. Bahwa membaca (iqra) ternyata merupakan perintah Allah Swt kepada
seluruh umat manusia, sebagaimana tertuang dalam QS Al-Alaq [96] ayat 1-5.
Yakni, “Bacalah dengan nama Tuhanmu
Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan
kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Dengan
begitu, berkat membaca kelak kita bisa lebih mengenal Allah Swt. Tak hanya itu,
kita juga bisa mengenal alam semesta dan diri sendiri.
Nah, bagaimana kondisi minat baca di
Indonesia? Dengan berat hati kita katakan, minat baca masyarakat Indonesia
masih sangat rendah. Itu terlihat dari data yang dikeluarkan Badan Pusat
Statistik (BPS) pada 2006. Bahwa, masyarakat kita belum menjadikan kegiatan
membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih memilih
menonton TV (85,9%) dan/atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran
(23,5%) (www.bps.go.id).
Data lainnya, misalnya International
Association for Evaluation of Educational (IEA). Tahun 1992, IAE melakukan
riset tentang kemampuan membaca murid-murid sekolah dasar (SD) kelas IV 30
negara di dunia. Kesimpulan dari riset tersebut menyebutkan bahwa Indonesia
menempatkan urutan ke-29. Angka-angka itu menggambarkan betapa rendahnya minat
baca masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak SD.
Padahal, jika dikaitkan dengan
perintah Allah Swt di atas, seharusnya bangsa Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam mampu melakukan aktivitas membaca. Apa pasal? Sebab,
aktivitas membaca merupakan suatu perintah dari Allah Swt melalui Alquran.
Jadi, aktivitas membaca bisa dianggap sebuah kewajiban bagi setiap manusia.
Hanya saja, dalam realitasnya aktivitas tersebut tidak gampang diwujudkan.
Ada banyak faktor yang menyebabkan
kemampuan membaca anak-anak Indonesia tergolong rendah. Pertama, ketiadaan
sarana dan prasarana, khususnya perpustakaan dengan buku-buku yang bermutu dan
memadai. Bisa dibayangkan, bagaimana aktivitas membaca anak-anak kita tanpa
adanya buku-buku bermutu. Untuk itulah, ketiadaan sarana dan prasarana,
khususnya perpustakaan dengan buku-buku bermutu menjadi suatu keniscayaan bagi
kita.
Dengan kata lain, ketersediaan bahan
bacaan memungkinkan tiap orang dan/atau anak-anak untuk memilih apa yang sesuai
dengan minat dan kepentingannya. Dari situlah, tumbuh harapan bahwa masyarakat
kita akan semakin mencintai bahan bacaan. Implikasinya, taraf kecerdasan
masyarakat akan kian meningkat; dan oleh karena itu isyarat baik bagi sebuah
kerja perbaikan mutu perikehidupan suatu masyarakat.
Kedua, banyaknya keluarga di
Indonesia yang belum mentradisikan kegiatan membaca. Padahal, jika ingin
menciptakan anak-anak yang memiliki pikiran luas dan baik akhlaknya, mau tidak
mau kegiatan membaca perlu ditanamkan sejak dini. Bahkan, Fauzil Adhim dalam
bukunya Membuat Anak Gila Membaca (2007) mengatakan, bahwa semestinya
memperkenalkan membaca kepada anak-anak sejak usia 0-2 tahun. Apa pasal?
Sebab, pada masa 0-2 tahun
perkembangan otak anak amat pesat (80% kapasitas otak manusia dibentuk pada
periode dua tahun pertama) dan amat reseptif (gampang menyerap apa saja dengan
memori yang kuat). Bila sejak usia 0-2 tahun sudah dikenalkan dengan membaca,
kelak mereka akan memiliki minat baca yang tinggi. Dalam menyerap informasi
baru, mereka akan lebih enjoy membaca buku ketimbang menonton TV atau
mendengarkan radio.
Namun, apa sajakah usaha-usaha yang
perlu dilakukan guna menumbuhkan minat baca anak-anak sejak dini? Dalam buku
Make Everything Well, khusus bab “Menciptakan Keluarga Sukses” (2005), Mustofa
W Hasyim menganjurkan agar tiap keluarga memiliki perpustakaan keluarga.
Sehingga perpustakaan bisa dijadikan sebagai tempat yang menyenangkan ketika
ngumpul bersama istri dan anak-anak.
Di samping itu, orangtua juga perlu
menetapkan jam wajib baca. Tiap anggota keluarga, baik orangtua maupun
anak-anak diminta untuk mematuhinya. Di tengah kesibukan di luar rumah,
semestinya orangtua menyisihkan waktunya untuk membaca buku, atau sekadar
menemani anak-anaknya membaca buku. Dengan begitu, anak-anak akan mendapatkan
contoh teladan dari kedua orang tuanya secara langsung.
Sedangkan di tingkat sekolah,
rendahnya minat baca anak-anak bisa diatasi dengan perbaikan perpustakaan
sekolah. Seharusnya, pihak sekolah, khususnya Kepala Sekolah bisa lebih
bertanggung jawab atas kondisi perpustakaan yang selama ini cenderung
memprihatinkan. Padahal, perpustakaan sekolah merupakan sumber belajar yang
sangat penting bagi siswanya. Dengan begitu, masalah rendahnya minat baca akan
teratasi.
Selanjutnya, pemerintah daerah dan
pusat bisa juga menggalakkan program perpustakaan keliling atau perpustakaan
menetap di daerah-daerah. Sementara soal penempatannya, pemerintah bisa
berkoordinasi dengan pengelola RT/RW atau pusat-pusat kegiatan masyarakat desa
(PKMD). Semakin besar peluang masyarakat untuk membaca melalui fasilitas yang
tersebar, semakin besar pula stimulasi membaca sesama warga masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar